welcome to jabal blog

click to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own text

Senin, 18 Oktober 2010

suatu masa di Bumi Borneo

Alih-alih menikmati udara segar, dadaku sesak menghirup pedasnya asap kebakaran hutan sepanjang jalan. Saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju tempat tugas pertama. Air mataku menetes, tidak tahu karena bola mataku pedih atau memang sedih melihat vulgarnya deforesting di depan mata. Tradisi membakar hutan merupakan bagian budaya ladang berpindah suku Dayak yang masih “dilestarikan” pemerintah daerah. Tahun 2004, ketika masih sebuah kabupaten pemekaran di daerah hulu sungai terkenal, warga pedalaman merayakan acara membakar ladang itu dengan bupatinya yang notabene mantan pendidik perguruan tinggi. Ironis ya? Tanpa diintroduksi dengan teknologi pertanian oleh Dinas Pertanian dan tanpa political will yang kuat dari pejabat pemda, masyarakat tidak mempunyai pilihan lain.

Bencana kelaparan pada suatu desa sering bermula dari gagal panen padi karena warganya terlambat membakar ladang dan lupa menyimpan parai (padi) di lumbung. Jangan bayangkan hamparan sawah di perkampungan lokal. Sepanjang bukit yang gundul, di antara tunggul-tunggul kayu raksasa dan sisa-sisa hasil pembakaran akan bersemi tunas-tunas padi varietas lokal yang panennya cuma sekali saja setahun. Sisi bagusnya mereka ngga perlu risau dengan regulasi pupuk pemerintah yang tidak masuk akal. Sisi buruknya selain asap yang membumbung ke langit dan membuat pedih satelit NOOA dan pilot pesawat komersil. He..he..masak iya ya

Apakah kabut asap yang membuat 60 juta warga ASEAN terganggu nafasnya selama tahun 1997-1998 ini semata-mata tanggung jawab warga Dayak yang bersahaja ini? Aku sangat meragukannya. Jumlah lahan yang sanggup dikelola setiap keluarga warga lokal tidak sebanding dengan lahan kelapa sawit konglomerat baik asing maupun domestik, yang proses land clearingnya akhirnya akan menggunakan teknik bakar hutan supaya lebih efisien. Mereka biasanya menolak dituduh membakar hutan. Dalam hal ini mereka benar, karena yang bertugas membakar di lapangan secara langsung adalah tangan penduduk lokal, yang digaji untuk merusak alam mereka sendiri. Tetapi tetap saja hot spotnya bisa diintip satelit dan pemilik lahan tetap bisa dituntut. Tapi bagaimana kalau terbakar itu tidak ada pemiliknya? Siapa yang dituntut?

Justru kebakaran dari lahan ini yang terbesar perannya dalam emisi gas rumah kaca global: kebakaran lahan gambut. 80 persen kebakaran hutan Indonesia terjadi di lahan gambut.Lahan gambut terjadi sejak 3500 s.d 5000 tahun yang lalu, dimana karena padatnya populasi pohon, dedaunan dan biomassa lainnya tidak sempat membusuk sempurna di rawa. Akibatnya sekarang adalah terbentuknya tanah asam seperti spons di lantai hutan yang berair. Indonesia memiliki luas wilayah lahan gambut terbesar keempat di dunia, yaitu sebesar 20 juta hektar.

Sebagian diantaranya diklaim dalam proyek Lahan Gambut (PLG)Sejuta Hektar. Idenya adalah demi swasembada beras, lahan gambut yang dianggap lahan tidur itu diberdayakan. Hutan dibuka, irigasi dibangun. Ribuan transmigrasi dari Jawa dikerahkan untuk mengelolanya. Alih-alih mengairi, kanal-kanal itu malah mengeringkan lahan gambut dan membuat gersang. Pada saat musim kemarau rentan terbakar.Di lahan eks PLG Kalteng, panjang saluran drainase yang mencapai 4.400 kilometer—setara empat kali panjang Pulau Jawa—juga melepaskan emisi CO2 sebesar 50 ton, setara dengan 16 ton karbon per hektar per tahun. Alih-alih mengairi, kanal-kanal itu malah mengeringkan lahan gambut dan membuat gersang. Pada saat musim kemarau rentan terbakar.

Aku juga pernah ditugaskan negara di pemukiman eks trans Sebangau, Kalimantan thn 2005. Penduduk transnya tinggal seperlima,yan g lain pulang ke Jawa.Karena tanah berpH rendah, padi sulit tumbuh, palawija pun mati.Selain itu air bersih langka. Karena air asam, warga bikin sumur bor. Sialnya airnya asin, karena kami dekat laut. Sehabis mandi, aku harus mengebaskan sisa garam di rambut. Karena itulah warga sangat tergantung bertahun-tahun kepada air hujan yang notabene bebas mineral. Tahu sendiri khan akibatnya? Gigi mereka karies semua. Saat kemarau menderita ISPA. Sehari-hari tidak ada air bersih.

Salah siapa kalau mereka menderita. Demi swasembada beras, haruskah mereka dan hutan merana? Haruskah mereka dipindahkan ke hutan gambut yang memang bukan habitat aslinya?

Ini kisah nyata sebelum Gubernur baru yang dipilih rakyatnya sendiri memimpin pemulihan Kalimantan Tengah . Selamat bertugas kembali pada periode kedua, Pak Gubernur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar